Setiap kali kita mengetik di keyboard, mengirim pesan, atau melakukan streaming film, kita sedang menjalankan sebuah keajaiban komputasi. Di balik layar, miliaran kalkulasi terjadi dalam sekejap mata. Namun, pernahkah Anda berpikir dari mana ide dasar di balik semua ini berasal? Siapa yang pertama kali mendefinisikan apa itu “komputer”?

Jawabannya akan membawa kita kembali ke tahun 1936, jauh sebelum Perang Dunia II, ke sebuah makalah akademis dengan judul yang rumit, dan ke pikiran seorang jenius bernama Alan Turing. Kisahnya bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang bagaimana sebuah ide abstrak dapat mengubah jalannya sejarah, sebuah narasi yang dihidupkan kembali dengan brilian dalam film “The Imitation Game”.

Sebelum ada perangkat keras, harus ada ide. Fondasi dari seluruh dunia digital kita saat ini diletakkan dalam makalah Alan Turing yang dipublikasikan pada tahun 1936, berjudul “On Computable Numbers, with an Application to the Entscheidungsproblem”.

Mari kita pecah judul yang terdengar rumit ini:

  1. Entscheidungsproblem (Masalah Keputusan): Ini adalah tantangan besar dalam dunia matematika yang diajukan oleh David Hilbert. Pertanyaannya sederhana namun mendalam: “Apakah ada sebuah algoritma atau metode pasti yang dapat menentukan apakah sebuah pernyataan matematika itu benar atau salah?” Intinya, bisakah kita menciptakan satu “mesin logika” universal untuk menjawab semua pertanyaan matematika?
  2. On Computable Numbers (Tentang Angka yang Dapat Dihitung): Untuk menjawab tantangan di atas, Turing melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ia harus mendefinisikan secara matematis apa artinya “metode” atau “algoritma” itu. Untuk melakukannya, ia menciptakan sebuah konsep teoretis yang kini kita kenal sebagai “Mesin Turing” (Turing Machine).

Mesin Turing bukanlah mesin fisik dengan roda gigi dan kabel. Ia adalah sebuah model abstrak di atas kertas:

  • Bayangkan sebuah pita kertas yang sangat panjang, dibagi menjadi kotak-kotak.
  • Ada sebuah kepala pembaca/penulis yang dapat bergerak ke kiri atau kanan, membaca simbol di kotak, dan menulis simbol baru.
  • Ada serangkaian instruksi (seperti program) yang memberitahu kepala tersebut apa yang harus dilakukan berdasarkan simbol yang dibacanya.

Dengan model sederhana ini, Turing berpendapat bahwa setiap proses komputasi atau algoritma dapat disimulasikan. Konsep inilah yang menjadi cetak biru fundamental bagi arsitektur komputer modern—dengan pita sebagai memori (RAM/SSD), kepala pembaca sebagai unit pemrosesan (CPU), dan instruksi sebagai perangkat lunak (software).

Pada akhirnya, Turing menggunakan konsep Mesin Turing ini untuk membuktikan bahwa tidak ada algoritma universal untuk memecahkan Entscheidungsproblem. Namun, dalam proses menjawab “tidak” pada satu pertanyaan, ia secara tidak sengaja memberikan fondasi untuk seluruh bidang ilmu komputer.

The Imitation Game: Dari Teori ke Praktik di Medan Perang

Jenius teoretis ini kemudian dihadapkan pada tantangan paling praktis dan mendesak: Perang Dunia II. Kisah inilah yang menjadi fokus utama film pemenang Oscar, “The Imitation Game” (2014), yang dibintangi oleh Benedict Cumberbatch.

Di pusat pemecahan kode rahasia Inggris, Bletchley Park, Turing ditugaskan untuk memecahkan kode Enigma, mesin enkripsi canggih Nazi Jerman. Enigma dianggap mustahil dipecahkan karena menghasilkan triliunan kombinasi kode yang berubah setiap hari.

Mengaplikasikan pemahamannya yang mendalam tentang komputasi, Turing merancang mesin elektromekanis bernama “The Bombe”. Mesin ini bukanlah Mesin Turing universal, melainkan perangkat dengan tujuan spesifik: menguji ribuan kemungkinan kombinasi Enigma dengan kecepatan super. The Bombe adalah manifestasi fisik dari logika komputasi yang telah ia teoretiskan bertahun-tahun sebelumnya.

Keberhasilan The Bombe menjadi titik balik krusial dalam perang. Para sejarawan sepakat bahwa upaya tim Bletchley Park, yang dipimpin oleh kecemerlangan Turing, berhasil mempersingkat perang hingga dua tahun dan menyelamatkan jutaan nyawa. Namun, semua ini dilakukan di bawah kerahasiaan tingkat tertinggi.

Tragedi dan Warisan yang Abadi

Ironisnya, pria yang membantu menyelamatkan dunia dari tirani harus menghadapi persekusi dari negaranya sendiri. Pada tahun 1952, Alan Turing dituntut secara kriminal karena homoseksualitasnya, yang saat itu ilegal di Inggris.

Diberi pilihan antara penjara atau pengebirian kimiawi, Turing memilih yang kedua agar dapat terus bekerja. Namun, perlakuan biadab ini berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mentalnya. Pada tahun 1954, di usia 41 tahun, Alan Turing meninggal dunia akibat keracunan sianida.

Dunia kehilangan seorang pahlawan dan salah satu pemikir paling orisinal dalam sejarah. Butuh waktu lebih dari setengah abad bagi dunia untuk sepenuhnya mengakui kontribusi dan menebus kesalahan padanya. Pada tahun 2013, Ratu Elizabeth II memberikan Pengampunan Kerajaan anumerta, sebuah pengakuan resmi atas ketidakadilan yang dideritanya.

Penutup: Dari Ide di Kertas Hingga Dunia di Genggaman Kita

Kisah Alan Turing adalah pengingat yang kuat bahwa revolusi terbesar sering kali dimulai dari sebuah ide—sebuah pertanyaan dalam makalah akademis. Dari upayanya untuk memecahkan masalah logika abstrak, lahirlah konsep yang menjadi dasar bagi laptop, smartphone, dan internet.

Jadi, saat berikutnya Anda menggunakan perangkat digital, ingatlah Alan Turing. Ingatlah makalahnya dari tahun 1936, keberaniannya di Bletchley Park, dan tragedi hidupnya. Dia adalah bukti nyata bagaimana satu pikiran cemerlang dapat secara harfiah membentuk dunia modern kita.

Further Reading:

Turing, A.M. (1937), On Computable Numbers, with an Application to the Entscheidungsproblem. Proceedings of the London Mathematical Society, s2-42: 230-265. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *